Menghindari Termanfaatkan Dan Dimanfaatkan

Manusia tidak bisa hidup sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa manusia sebagai makhluk social, khalqun ijtima’i. Maka tentu dalam hal ini, hidup dalam satu lingkungan yang dirinya mempunyai kekurangan, namun dalam dirinya pun ada kelebihan. Pada satu saat mungkin kelebihan yang ada pada dirinya dapat memanfaatkan kekurangan orang lain, atau kemungkinan kekurangan yang ada pada dirinya dimanfaatkan oleh orang lain. Hal ini bergantung siapa di antara mereka yang dominan dalam satu lingkungan dalam memanfaatkan dan dimanfaatkan.
Ini merupakan sunnatullah. Maka sudah merupakan kelaziman setiap sunnatullah biasanya diiringi dengan sunnaturrasul, yang diungkapkan oleh para nabi, yang dijelaskan oleh para rasul, agar manusia dalam hal-hal tertentu yang berhubungan dengan sunnatullah itu tidak mengalami kerugian. Apakah kerugian secara pribadi, kerugian secara keluarga, kerugian umat ataupun masyarakat lebih luasnya. Karena suatu saat tidak mustahil yang termanfaatkan dan dimanfaatkan itu adalah orang-orang yang baik, orang-orang yang shalih, akan tetapi karena ada kelemahan-kelemahan tertentu sehingga berakibat mereka dimanfaatkan dan termanfaatkan pihak lain, disadari atau pun tidak disadari.
Oleh karena itu, dalam hal ini wajar apabila Allah memberikan peringatan dengan ungkapannya yang tentu sangat terhormat ‘bassyir ‘ibadi’ : “Gembirakanlah hamba-hambaKu.” Bukan manusia tapi hamba-hamba-Ku. Bukan pribadi mu’min, tapi ‘ibadurrahman, ‘ibadullah. Lalu yang bagaimana ‘ibad itu? Di antara sifat-sifatnya mereka tidak menutupi diri dalam lingkungan mereka, biasa bercampur dalam lingkungan, melihat apa yang terlihat dan mendengar apa yang terdengar dan tidak setiap yang terlihat dan terdengar itu akan diserap oleh dirinya dan diterapkan untuk dirinya.

الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ أُوْلَئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ وَأُوْلَئِكَ هُمْ أُوْلُوا الْأَلْبَابِ -١٨-

“(Orang-orang) yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya.** Mereka itulah orang-orang yang telah Diberi petunjuk (oleh) Allah dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal sehat.” (Qs. Az-Zumar [39] : 18)

**Mereka yang mendengarkan ajaran-ajaran al-Quran dan ajaran-ajaran yang lain, tetapi yang diikutinya ialah ajaran-ajaran al-Quran karena ia adalah yang paling baik.

Allah menyatakan mereka itu yang senantiasa ‘yastami’una; memperhatikan omongan-omongan, bukan yasma’una; sekedar mendengar. Tetapi tidak setiap omongan dia ikuti dan tidak setiap omongan dia terima, yang dia ikuti adalah ahsanahu mana yang paling baik dalam arti adalah husnun untuk dirinya, husnun untuk keluarga dan husnun untuk masyarakat luas, sesuai dengan do’anya ‘Rabbana aatina fid dun-ya hasanah wa fil aakhirati hasanah’, puncaknya ‘waqina ‘adzaban-nar’. Karena tidak mustahil pada satu saat ada ­al-qaulul-hasanu yang terselubung, ada ungkapan-ungkapan yang terselubung, padahal hakikatnya merupakan jeratan-jeratan yang akan berkahir dengan ungkapan ‘innal-insana lafi khusrin’; sesungguhnya manusia benar-benar dalam kerugian.
Hal ini terbukti karena setiap sebab akan timbul akibat, dan tidak mustahil akibat ini akan menjadi sebab yang baru yang menimbulkan akibat berikutnya. Sebab dan akibat yang beruntun seolah-olah seperti tabrakan yang beruntun; timbul sebab timbul akibat, akibat ini menjadi sebab yang baru yang menimbulkan akibat yang baru. Bukankah ketika peristiwa haditsul-ifki itu merupakan penyebaran berita-berita, penyebaran al-qaula yang ternyata termakan dan dimakan oleh sebagian pribadi-pribadi Muslim pada saat itu, padahal justru yang menjadi objeknya adalah keluarga Rasulullah, istri Rasulullah, ‘Aisyah, sehingga diangkat ke permukaan dengan ungkapan haditsul ‘ifki (berita bohong). Dan memang demikianlah orang-orang tertentu senantiasa mereka menimbulkan akibat-akibat dari sebab-sebab tertentu. Dan situasi dan kondisi tertentu, mereka senantiasa memanfaatkan, kalau perlu keluarga Rasul pun jadi korbannya.
Dalam haditsul ‘ifki itu tersebar bahwa berita perihal ‘Aisyah yang “digosipkan” ada hubungan dengan sahabat Shafwan ibn Mu’athal. Rasul pun tidak tahu masalah ghaib, beliau diam tidak memberikan komentar apapun, beliau hanya menunggu dan menunggu bara’ah dari Allah. Sehingga setelah kurang lebih satu bulan, tentu berita sudah menyebar sedemikian luasnya; ‘Aisyah ada hubungan dengan sahabat Shafwan ibn Mu’aththal, dimana ‘Aisyah tertinggal dan diselamatkan oleh Shafwan ibn ‘Muaththal. Dan kondisi seperti ini yang dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu dalam haditsul ‘ifki.
Setelah datang bara’ah (pertanyaan bahwa ‘Aisyah bersih dari tuduhan), baru Rasulullah merasa lega. Dan ternyata di antara yang termanfaatkan dan dimanfaatkan itu bukan oleh orang lain tetapi salah seorang sahabat ‘Aisyah , yaitu Misthah, seorang shahabat yang termasuk muhajirin, yang turut hijrah dari Makkah ke Madinah. Shahabat yang dekat kepada Rasulullah sampai bisa termanfaatkan dan dimanfaatkan. Begitu tajamnya gossip yang dilakukan oleh orang-orang munafiq.
Abu bakar shahabat yang layyinun dan raqiqun, shahabat yang penyabar dan penyantun, tetapi ketika mendengar yang terlibat itu masih kerabatnya, dan justru yang setiap bulan dia mendapatkan subsidi dari Abu Bakar, makanan dan lain sebagainya, setelah beliau tahu bahwa yang terlibat itu Misthah, Abu Bakar waktu itu mengikrarkan sumpah, “Demi Allah mulai saat ini aku akan menghentikan bantuan kepada Misthah.”
Barangkali inilah akibat dan sebab yang beruntun itu. Ternyata sebab tersebarnya berita, turun bara’ah. Tetapi setelah sebab turun, bara’ah turun, akibat Abu Bakar sumpah, turun lagi teguran khususnya kepada Abu Bakar. Di antaranya ada dua ayat; yang pertama dalam Qs. Al-Baqarah dan yang kedua yang semakna di dalam Qs. An-Nur Allah menyatakan:

وَلاَ تَجْعَلُواْ اللّهَ عُرْضَةً لِّأَيْمَانِكُمْ أَن تَبَرُّواْ وَتَتَّقُواْ وَتُصْلِحُواْ بَيْنَ النَّاسِ وَاللّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ -٢٢٤-

“Dan janganlah kamu jadikan (nama) Allah dalam sumpahmu sebagai penghalang untuk berbuat kebajikan, bertakwa dan menciptakan kedamaian di antara manusia.** Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (Qs. Al-Baqarah [2] : 224)

Pada ayat lain dinyatakan:

وَلَا يَأْتَلِ أُوْلُوا الْفَضْلِ مِنكُمْ وَالسَّعَةِ أَن يُؤْتُوا أُوْلِي الْقُرْبَى وَالْمَسَاكِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلَا تُحِبُّونَ أَن يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ -٢٢-

“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kerabat(nya), orang-orang miskin dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah Mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (Qs. An-Nur [24] : 22)

Abu Bakar shahabat yang begitu baik, begitu penyabar, tetapi ketika mendengar yang terlibat itu adalah orang dekat yang setiap saat mendapatkan bantuannya, ternyata hatinya itu tergoyahkan sehingga timbul sumpah yang seperti itu. Akan tetapi demikianlah, para shahabat yang dekat dengan Rasulullah saw. ketika seorang shahabat dinyatakan dalam satu persoalan yang akibatnya itu adalah kematian, waktu itu Rasulullah mengingatkan kepada shahabat itu “Ingatlah wahai engkau, adzab dunia lebih ringan disbanding adzab akhirat”. Ternyata shahabat itu memilih adzab dunia padahal konsekuensinya mati dirajam. Ternyata shahabat ini menerima, “Ya Rasulullah, saya pilih adzab dunia daripada nanti adzab di akhirat.”
Dalam kehidupan kita sehari-hari pun tidak mustahil akan terjadi, mungkin suami dengan istri, mungkin dalam satu keluarga antara kakak dan adik ada masalah, dan masalah-masalahnya bukan masalah agama tetapi masalah-masalah duniawi, ternyata akibatnya ‘kieu-kieu mah mending pegat duduluran’ *(daripada begini, lebih baik putus kekerabatan). Bukankah ini sumpah yang perlu dikafarati? Yang perlu dihapus ? karena dengan demikian, dia berarti sudah memutuskan silaturahmi.
Dalam satu riwayat Rasulullah saw mengingatkan kepada seorang shahabat, Abdurrahman ibn Samurah :

عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ سَمُرَةَ قَالَ قَالَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - « يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ لاَ تَسْأَلِ الإِمَارَةَ ، فَإِنَّكَ إِنْ أُوتِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا ، وَإِنْ أُوتِيتَهَا مِنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا ، وَإِذَا حَلَفْتَ عَلَى يَمِينٍ فَرَأَيْتَ غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا ، فَكَفِّرْ عَنْ يَمِينِكَ ، وَأْتِ الَّذِى هُوَ خَيْرٌ ».

“Hai ‘Abdurrahman putra Samurah ! Janganlah engkau meminta jabatan, sebab bila engkau diberi karena meminta, engkau akan dibebani dengannya. Tapi jika engkau diberi karena bukan meminta, engkau akan diberi bantuan oleh Allah. Dan jika engkau bersumpah lalu engkau melihat yang lainnya ternyata lebih baik daripada isi sumpahmu, maka lakukanlah kifarat atas sumpahmu dan lakukanlah yang menurut perkiraanmu bahwa itu lebih baik dilakukan. (Shahih al-Bukhari kitab al-aiman wan-nudzur no. 6622).

Hidup dalam satu lingkungan itu akan timbul gosip-gosip yang bisa mencemarkan nama seseorang dan merusak kebaikan-kebaikan seseorang, padahal kenyataannya ia bersih dari hal itu. Oleh karenanya kenapa Rasulullah mengungkapkan dengan kata-kata wa’ti huwa khairun; lakukanlah yang ternyata lebih baik. Kenapa tidak ahsanun tetapi khairun, karena khairun adalah konotasinya bermanfaat, artinya lakukanlah yang ternyata lebih bermanfaat, lebih baik bagimu daripada engkau melaksanakan sumpah. Dijamin tidak akan terjadi apa-apa, tetapi secara syar’I harus menghapus sumpah itu dengan kifarat, member pakaian atau makanan kepada si miskin atau shaum tiga hari atau memerdekakan hamba sahaya.
Insya Allah dengan ungkapan hati-hati seperti yang diungkapkan dalam firman Allah, basyir ‘ibadi alladzina yastami’unal qaula; gembirakanlah hamba-hamba Allah yang senantiasa memperhatikan omongan-omongan tetapi tidak setiap omongan dia serap, kemudian mereka itu mengikuti mana yang paling baik, Insya Allah dengan cara yang seperti ini kita tidak akan termanfaatkan dan dimanfaatkan.